Rabu, 22 Januari 2014

PAMERAJAN PASEK PADANG SUBADRA
I.              Silsilah Pasek Padang Subadra
Keluarga Pasek Padang Subadra merupakan keturunan dari Mpu Ketek yang merupakan bagian dari Sapta Rsi. Mpu Ketek kawin dengan seorang gadis, anak Ki Arya Padang Subadra. Dari perkawinannya itu, beliau berputra dua orang anak laki-laki yaitu Arya Kapasekan dan Sanghyang Pamacekan. Arya Kapasekan kemudian kawin dan memiliki tiga anak laki-perempuan, yang sulung bernama I Gusti Agung Padang Subadra, yang kedua Ni luh Pasek dan yang ketiga Kyayi Agung Pamacekan.
Adapun Sanghyang Pamacekan mengawini Dewi Dwararika yakni putri dari Mpu Bahula. Mereka mempunyai dua orang anak yaitu Dewi Girinatha dan Mpu Pamacekan. Dikisahkan bahwa Kyayi Agung Pamacekan setelah pindah ke Bali, berputra dua orang laki-laki bernama Pasek Denpasar dan Pasek Gelgel. Adapun Mpu Pamacekan di Jawa kawin dengan Ni Ayu Swani, kemudian memiliki tiga orang anak yaitu Arya Kapasekan, Arya Pamacekan (setelh menempuh upacara dwijati bergelar Mpu Jiwanatha) dan Ni Ayu Ler.
Dikisahkan Arya Kapasekan Kawin dengan Ni Swararika. Sesudah berada di Bali, mereka mempunyai dua anak yaitu Ni Ni Luh Pasek dan Kyayi Agung Pamacekan. Kyayi Agung Pamacekan berputra seorang laki-laki. Entah berdasarkan pertimbangan apa, putranya itu diberi nama Kyayi Agung Pamacekan, sama dengan nama ayahnya. Kemudian Kyayi Agung Pamacekan kembali ke Jawa. Pada akhir kerajaan Majapahit di Pulau Jawa, meletuslah pergolakan dan perang antara penganut agama lama dengan agama baru. Mereka yang tidak mau memeluk agama baru, lalu meninggalkan Jawa Timur menuju Gunung Mahameru yang dipimpin oleh tiga orang yaitu Kyayi Agung Pamacekan selaku rohaniwan, seorang keluarga raja dan seorang bekel.
Setelah berada di Gunung Mahameru, mereka terus dikejar lawan, lalu  melarikan diri menuju ke barat daya dan sampailah mereka di dalam hutan di kaki Gunung Mahameru. Mereka di sana berniat menetap, dan untuk itu membuat pasraman sebagai pemukimannya. Dengan demikian selamatlah mereka dari kepungan lawan. Namun akhirnya, usia juga yang membatasi hidup mereka. Sesudah mereka sempat menjalani hidup yang cukup panjang, ketiga pimpinan tersebut meninggal dunia. Ketiga petilasannya letaknya tidak terlalu berjauhan. Sesudah menjadi pemukiman masyarakat, tempat itu lalu diberi nama sebagai berikut:
-                 Tempat petilasan Kyayi Agung Pamacekan dinamakan Dukuh Pasekan.
-                 Tempat petilasan keluarga raja dinamakan Dukuh Kaprabhon.
-                 Tempat petilasan Bekel dinamakan Dukuh Tegalsari.
Kyayi Agung Pamacekan yang petilasannya ada di Dukuh Pasekan, Kelurahan dan Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Daerah Tingkat II Karanganyar (Jawa Tengah) tidak mempunyai keturunan. Adapun Arya Pamacekan yang kemudian bergelar Mpu Jiwanatha kawin dengan Ni Swaradangkya dan memiliki seorang anak laki-laki yang diberi nama Kyayi Gusti Agung Subadra. Kyayi Gusti Agung Subadra kawin dengan Luh Pasek dan memiliki dua orang putra yaitu Ki Pasek Tohjiwa dan Ki Pasek Padang Subadra. Oleh Raja Bali Sri Tapaulung, yang dinobatkan pada tahun Saka 1246 (tahun 1324 M) bergelar Sri Gajah Waktra atau Sri Gajah Wahana. Ki Pasek Padang Subadra diangkat sebagai penguasa di Desa Perasi dengan gelar Kyayi Agung Pasek Padang Subadra.
Kemudian Kyayi Agung Pasek Padang Subadra oleh Raja Bali Sri Gajah Waktra atau Sri Gajah Wahana diangkat sebagai Amancabhumi (setingkat camat) dengan tugas pengempon Pura Silayukti di Desa Padang. Sedangkan Ki Pasek Tohjiwa sebagai Amancabhumi berkedudukan di Kejiwa, bergelar I Gusti Pangeran Pasek Tohjiwa, menguasai suatu daerah di sebelah Barat Bukit Penyu dan di sebelah Timur Desa Bajing. Keputusan pengangkatan ini diambil dalam rapat di Gelgel, pada hari Senin Umanis, wara Sungsang Saka warsa 1257 (tahun 1335 M) (Soebandi, 2003:64-66).

II.           Sanggah/Pamerajan
Sanggah/Pamerajan keluarga saya terletak di Jalan Pahlawan, Banjar Tegal. "Sanggah" atau "Pamerajan" mempunyai asal kata masing-masing. Perkataan Sanggah berasal dari sanggar yang berarti tempat suci, karena perubahan huruf dari r menjadi h maka menjadi Sanggah. Secara etimologi adalah berasal dari kata sa dan angga (sa berarti satu dan angga berarti badan). Jadi berarti satu badan atau penunggalan suksma sarira dengan stula sarira atau penunggalan rohani dan jasmani untuk dapat memusatkan pikiran ke hadapan Hyang Widi, melalui roh suci leluhur. Sedangkan kata Pamerajan berasal dari kata pa yang menunjukkan tempat dan mara berarti dekat dan ja dari kata jati, yang berarti lahir. Jadi arti dari Pamerajan adalah tempat mendekatkan diri pada asal kelahiran.
Sanggah/Pamerajan adalah tempat pemujaan untuk suatu keluarga. Pamerajan bukan merupakan tempat pemujaan umum yang berlaku bagi setiap umat Hindu. Pamerajan hanya tempat pemujaan untuk umat Hindu yang memiliki ikatan keluarga. Pamerajan adalah “ulun karang” atau kalau diumpamakan seperti manusia, Pamerajan itu dapat diumpamakan sebagai kepala atau ulunya pekarangan. Pamerajan memiliki tingkatan-tingkatan menurut besar kecilnya keluarga penyungsung dan bentuk serta kelengkapan dari pelinggih-pelinggih yang ada (Kt. Wiana, 1996:20). Menurut bentuknya Sanggah Pamerajan, ada tiga versi :
a.       Yang dibangun mengikuti konsep Mpu Kuturan Trimurti maka pelinggih yang letaknya di ‘hulu’ (kaja-kangin) adalah pelinggih Kemulan (Rong Tiga, Dua, Satu), tidak mempunyai pelinggih Padmasana/ Padmasari.
b.       Yang dibangun mengikuti konsep Danghyang Nirarta Tripurusha maka pelinggih yang letaknya di ‘hulu’ (kaja-kangin) adalah pelinggih Padmasana/ Padmasari, sedangkan pelinggih Kemulan tidak berada di Utama Mandala.
c.       Kombinasi keduanya     biasanya dibangun setelah abad ke-14, maka pelinggih Padmasana/ Padmasari tetap di ‘hulu’, namun di sebelahnya ada pelinggih Kemulan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa Sanggah/Pamerajan yang ada di rumah keluarga besar saya mengikuti konsep dari Mpu Kuturan, karena di Sanggah/Pamerajan memiliki pelinggih Kemulan yang hanya memiliki satu rong (ruang).
Fungsi Sanggah/Pamerajan berdasarkan keyakinan umat Hindu di Bali adalah :
1.             Sebagai tempat suci untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa dan para Leluhur/Kawitan.
2.             Sebagai tempat berkumpul sanak keluarga dalam upaya mempererat tali keluarga.
3.             Sebagai tempat kegiatan sosial/pendidikan yang berkaitan dengan agama (Gunawan, 2012:19). 

III.        Pelinggih-Pelinggih yang ada di Merajan
3.1         Taksu Agung

Kata Taksu sudah merupakan bahasa baku dalam kosa kata Bali, yang dapat diartikan sebagai daya magis yang menjadikan keberhasilan dalam segala aspek kerja, misalnya para seniman seperti pragina, balian, dalang, dan lain-lain, yang berhasil disebut “mataksu”. Dalam ajaran Tantrayana, taksu bisa diartikan sama dengan “sakti” atau “wisesa”. Dan yang dimaksud dengan sakti itu adalah simbol dari pada “bala” atau kekuatan (Singgin Wikarna, 1998:17-18). Taksu juga sebagai niyasa pemujaan Dewi Saraswati yaitu saktinya Brahma yang memberikan manusia kemampuan belajar/mengajar sehingga memiliki pengetahuan.
Pada umumnya bentuk bangunan dari Taksu Agung terdiri dari bataran dibagian bawah, dibagian tengah badan bangunan di atasnya sebuah ruangan disangga oleh sepasang “Saka Anda” dan ditutupi oleh atap bangunan (Kt. Wiana, 1996:29). Namun Taksu Agung yang ada di Merajan saya sudah menggunakan bahan bangunan yang umum digunakan di kalangan masyarakat sekarang, tidak menggunakan kayu ataupun tiang. Kampuh yang digunakan adalah berwarna hitam putih (saput poleng) yang merupakan simbol dari kekuatan Dharma dan kekuatan Wisesa. Sedangkan banten yang dipersembahkan kepada pelinggih ini adalah canang ketipat gong.
Fungsi Taksu Agung sama dengan fungsi Taksu yang lainnya yaitu untuk memohon “kesidhian” atau keberhasilan untuk semua jenis profesi seperti seniman, pedagang, petani, pemimpin masyarakat dan sebagainya.

3.2         Dewa Ayu Pesaren

Pelinggih Dewa Ayu Pesaren adalah pelinggih yang merupakan stana dari bhatari sarati, sebagai bentuk penghormatan kepada orang yang mengetahui tentang banten-banten. Kampuh yang digunakan adalah berwana putih kuning yang merupakan lambang dari kesucian. Kemudian banten yang dipersembahkan adalah canang raka.
3.3         Dewa Ayu

Pelinggih Dewa Ayu ini merupakan stana dari Hyang Bhatari yang membantu tugas dari Pelinggih Dewa Ayu Pesaren. Kampuh yang digunakan berwarna putih kuning dan banten yang dipersembahkan adalah canang raka.

3.4         Dalem Taulan

Pelinggih Dalem Taulan ini merupakan stana dari Bhatara Dalem. Di pelinggih inilah tempat untuk memohon penganugerahan agar salah satu dari keluarga yang meninggal agar diberi tempat yang layak di alam sana. Kampuh yang digunakan adalah berwarna putih kuning dan banten yang dipersembahkan adalah canang ajengan.

3.5         Dewa Ayu Manik Galih

Pelinggih Dewa Ayu Manik Galih ini merupakan stana dari Dewi Sri, sebagai simbol Dewi kesuburan dan kesejahteraan. Beliau akan memberikan jalan untuk dapat mencapai kesejahteraan hidup. Kampuh yang digunakan adalah berwarna putih kuning, sedangkan banten yang dipersembahkan yaitu canang ajengan japi tunggal.

3.6     Kamulan Rong Satu

Kamulan berasal dari kata “mula” (samkrit) yang berarti akar, umbi, dasar, permulaan, asal (Kamus kecil Samkrit-Indonesia, 1983:180). Awal ka dan akhiran an menunjukkan tempat pemujaan asal atau sumber (Singgin,1998:2-3). Kemulan rong tiga sebagai stana Sanghyang Trimurti, Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai Brahma – Wisnu – Siwa atau disingkat Bhatara Hyang Guru. Ada juga kemulan rong 1 (Sanghyang Tunggal), rong 2 (Ardanareswari), rong 4 (Catur Dewata), rong 5 (Panca Dewata) (http://www.babadbali.com/pura/plan/merajan.htm, diakses Rabu, 28 November 2012 Pukul 14:46 Wita).
Kampuh yang digunakan adalah berwarna putih kuning yang merupakan lambang kesucian. Banten yang dipersembahkan kepada pelinggih ini adalah canang ajengan dan daksina.

3.7     Pelinggih Limas Catu dan Limas Mujung
              
Bentuk Pelinggih Limas Catu dan Limas Mujung itu seperti Meru Tumpang Satu, hanya atapnya berbeda-beda. Pelinggih Limas Catu bentuk atapnya ditutup dengan ''paso'' yang dihias indah berukir sampai ke ujungnya sehingga tidak sama dengan paso yang digunakan untuk keperluan dalam rumah tangga. Sedangkan Limas Mujung atapnya dari serat ijuk dibuat lancip mengerucut ke atas seperti berkuncir. Padagingan Limas Catu dan Limas Mujung menggunakan padagingan Dewa Pratista. Pelinggih Limas Catu dan Limas Mujung sebagai media pemujaan Tuhan dalam fungsinya sebagai pencipta kesejahteraan material dan spiritual. Dua pelinggih tersebut disebut dengan berbagai istilah oleh umat Hindu di Bali. Limas Catu ada yang menyebutnya sebagai Pasimpangan Ida Batara di Gunung Lebah. Sedangkan Limas Mujung Pasimpangan Ida Batara di Gunung Agung.
Pemujaan dengan sarana Pelinggih Limas Catu dan Limas Mujung itu adalah untuk memuja Tuhan sebagai pencipta jiwa dan raga atau Purusa dan Pradana. Manusia tercipta oleh Tuhan dari Purusa dan Pradana. Bertemunya Purusa dan Pradana itulah yang menyebabkan adanya hidup ini. Menurut ajaran Hindu memuja Tuhan itu bukan sekadar memuja. Memuja Tuhan Yang Mahakuasa itu untuk dapat didayagunakan menguatkan kehidupan lahir batin.
Demikian juga pemujaan Tuhan dalam fungsi-Nya sebagai pencipta Purusa dan Pradana dipuja untuk mengingatkan umat manusia agar selalu membangun hidup yang seimbang. Dengan sistem pemujaan yang demikian itu berarti ajaran Hindu tidak semata-mata mengajarkan tentang kerohanian saja, tetapi mengajarkan kehidupan yang seimbang antara kehidupan duniawi dan rohani. Penderitaan itu terjadi kalau kehidupan jasmani dan rohani tidak seimbang. Kampuh yang digunakan pada pelinggih Limas Catu dan Limas Mujung ini adalah putih kuning yang merupakan lambang kesucian. Banten yang dipersembahkan kepada pelinggih ini adalah canang raka.

3.8     Menjangan Saluang/Manjang Sakeluang

Pelinggih Menjangan Saluang/Manjang Sakeluang yang ada di Merajan saya tidak berbentuk gedong namun bentuknya agak panjang. Pelinggih ini memiliki tiang (saka) lima buah saka, yang di belakang 2 buah dan tiga buah di depannya. Di depan bangunan tepat pada tiang di tengah diisi sebuah simbol berupa kepala binatang menjangan. Simbol-simbol yang terdapat dalam pelinggih Menjangan Saluang ini memiliki makna tersendiri yaitu:
a.              Bangunan bertiang lima buah mengandung simbol Panca Rsi.
b.             Kepala menjangan mengandung mksud Sang Putus atau Maha Rsi.
c.              Binatang menjangan bertanduk bercabang-cabang mengandung maksud kekuasaan kerajaan Majapahit.
Bangunan Pelinggih Menjangan Saluang juga merupakan pelinggih untuk menghormati jasa-jasa Mpu Kuturan di Bali. Empu Kuturan ialah seorang Maha Rsi dari Jawa timur yang datang ke Bali pada waktu pemerintahan Raja Marakata yaitu adik dari Airlangga. Empu Kuturan di kenal sebagai salah satu tokoh spiritual yang memperkokoh sendi-sendi kehidupan beragama di Bali. Antara lain:
-                 Adanya Khayangan Tiga di Desa-Desa Pakraman
-                 Adanya Khayangan Jagat
-                 Adanya Sad Kahyangan Di Bali
-                 Tata Cara Penyelenggaraan Desa Pakraman.
-                 Tata Cara Pelaksanaan Upacara dan Upakaranya.
-                 Mengenal Arsitektur tradisional Bali.
-                 Palinggih-Palinggih Meru, Tugu dan Gedong.
Dan Mpu Kuturan juga di kenal sebagai pemersatu beberapa paham atau sekte hindu yang ada di Bali. Beliau juga mengajarkan berbagai jenis pedagingan secara spiritual. Dan menganjurkan membuat Sanggah atau Merajan di tiap-tiap pekarangan rumah dan lain-lainnya. Sebenarnya, sebelum paham atau sekte Hindu yang ada di Bali itu dapat disatukan oleh Mpu Kuturan, sering kali terjadi pertentangan paham yang menimbulkan keributan. Maka Raja Gunapriya Dharmapatni ( Udayana Warmadewa ) yang bertahta di Bali pada waktu itu pada tahun saka 910 sampai 933 yang merupakan Raja keturunan Majapahit memandang perlu mendatangkan ahli Rohaniawan dari Majapahit, dan beliau mengirim utusan ke Majapahit, dari Majapahit mendapat tanggapan baik, maka dikirimlah Maha Rsi ke Bali yaitu : Empu Semeru, Empu Garia, Empu Kuturan, Empu Gnijaya, Empu Baradah. Setelah Beliau bersama-sama di Bali Raja Gunapriya Dharmapatni mengangkat Empu Kuturan sebagai Ketua Majelis dalam tugas penanganan tentang sekte-sekte tersebut. Kemudian Empu Kuturan mengadakan pertemuan dengan nama “ Samuan Tiga “ hasil keputusan Samuan tersebut mendapat kesepakatan bahwa keagamaan didasarkan kepada Siwa dan Bhuda dan semua sekte telah masuk kedalamnya. Di samping itu Mpu Kuturan mempergunakan konsep Tri Tunggal yaitu Tri Murti yaitu Brahma, Wisnu, Siwa. Mengenai pemasukan sekte tersebut ke dalam konsep Tri Murti adalah sebagai berikut:
1.             Sekte Sambu dan Bayu di subkan ke Siwa
2.             Sekte Indra di subkan ke Wisnu
3.             Sekte Kala Di subkan ke Brahma
Jadi kesimpulanya yang berstana (Malinggih) di Palinggih Menjangan Seluang adalah Sang Hyang Panca Rsi Terutama Empu Kuturan. (http://silsilahkeluargabm.wordpress.com/2012/08/05/menjangan-seluang, diakses Selasa, 04 Desember 2012 Pukul 09:44 Wita).
Kampuh yang digunakan pada pelinggih ini adalah putih kuning yang merupakan lambang kesucian. Banten yang dipersembahkan kepada pelinggih ini adalah canang ajengan japi tunggal.

3.9     Pelinggih Dewa Ayu Subandar, Dalem Medura dan Taksu-Taksu Alit

Pelinggih Dewa Ayu Subandar, Dalem Medura dan Taksu-Taksu Alit ini dibangun untuk memuja dan menghormati leluhur yang terdahulu yang berasal dari Jawa, karena itri kakek saya berasal dari Jawa. Kampuh yang digunakan pada pelinggih ini adalah berwarna putih kuning yang merupakan lambang kesucian. Kemudian banten yang dipersembahkan adalah canang ajengan di pelinggih Dewa Ayu Subandar dan Dalem Medura, sedangkan di pelinggih Taksu Alit dipersembahkan canang ketipat sirikan.

3.10   Pelinggih Wewidian/Wewidenan

Pelinggih Wewidian/Wewidenan yaitu pelinggih yang berhubungan dengan sejarah hidup leluhur di masa lampau, misalnya mendapat paica, atau kejumput oleh Ida Bhatara di Pura lain. Kampuh yang digunakan pada pelinggih ini adalah berwarna putih kuning yang merupaakan lambang kesucian. Pada saat piodalan atau melaksanakan upacara yadnya, banten yang dipersembahkan adalah canang raka.

3.11   Pelinggih Surya

Pelinggih Surya bisa juga disebut dengan Sanggah Natah atau Sanggah Pangijeng. Fungsinya adalah untuk menyinari semua yang ada di pekarangan itu atau menjaga semua yang ada di pekarangan itu. Dan merupakan saksi Agung dari segala apa yang kita perbuat. Yang Malinggih di sana adalah Dewa Surya yang konon dalam mitologi Dewa Surya adalah murid dari Dewa Ciwa yang paling pintar, yang bisa menyamai kepintaran Dewa Ciwa. Sehingga Dewa Surya di beri Gelar Surya Raditya dan dipakai sebagai contoh untuk mengetahui kepintaran atau kesaktian Bhatara Ciwa. Dan sebagai ucapan terimakasih dari Bhatara Surya maka Dewa Ciwa diberi Gelar Kehormatan dengan nama Bhatara Guru, karena beliau guru dari para Dewa. Sehingga kalau kita lihat pengastawa di sanggah natah antara lain:
“Ong Ang Ung Mang, Ong Ciwa Rekaprastika ya namah Swaha”
Bisa juga yang malinggih di Sanggah Natah adalah Sanghyang Siwa Reka yang tiada lain ialah Dewa Ciwa itu sendiri, yang Ngereka ( bahasa Bali) atau yang menciptakan Alam Semesta beserta isinya (http://blogputrasekarbali.blogspot.com/2010/10/palinggih-paumahan.html#ixzz2E30PXYfP, diakses Selasa 04 Desember 2012 Pukul 09:51 Wita). Kampuh yang digunakan pada pelinggih ini adalah berwarna putih kuning yang merupakan lambang kesucian dan banten yang dipersembahkan adalah banten daksina dan canang ajengan japi tunggal.

3.12   Bale Piasan

Bangunan Piasan berbentuk segi empat panjang memakai tiang bangunan empat buah, namun ada juga yang memakai enam buah tiang sesuai dengan besar kecilnya bangunan. Piasan berasal dari kata “Perhiasan” artinya tempat menghias atau merangkai simbol, seperti daksina pelinggih, arca, sebelum distanakan pada bangunan suci dan tempat upakara yang akan dipersembahkan. Manifestasi Sang Hyang Widhi yang berstana pada bangunan ini adalah Sang Hyang Wenang. Dari kata Wenang yang artinya segala manifestasi Sang Hyang Widhi bisa distanakan pada bangunn piasan (Sudarsana, 1998:66). Kampuh yang digunakan pada bale piasan adalah berwarna putih kuning yang melambangkan kesucian. Biasanya di bale piasan ini dipersembahkan canang ajengan dan banten daksina.


3.13   Penunggun Karang

Bangunan suci ini berbentuk tepas sari (seperti gedong) yang letaknya pada sudut barat laut dari pekarangan rumah. Kenapa harus di sudut barat laut?. Karena menurut sumber ajaran Agama Hindu yang disebut Asta Bumi terkandung di dalamnya lima pembagian wilayah yang disebut Panca Raksa yaitu:
1.             Sri Raksa, pada sudut timur laut adalah tempat atau lokasi Pamerajan.
2.             Guru Raksa, pada sudut tenggara adalah tempat bangunan suci Lebuh.
3.             Durga Raksa, pada sudut barat daya adalah lokasi kandang hewan peliharaan, dapur.
4.             Kala Raksa, pada sudut barat laut adalah lokasi bangunan suci Penunggun Karang dan sumur/sumber mata air, kamar mandi untuk keperluan rumah tangga.
5.             Siwa Raksa, di tengah pekarangan adalah lokasi bangunan suci Siwa Reka.
Manifesatsi Sang Hyang Widhi yang berstana di Penunggun Karang ini adalah “Sang Hyang Durga Manik” sebagai kekuatan pelindung, pengayom dan pendidik umat manusia. Dikatakan sebagai pengayom dan pelindung karena Beliau memiliki kemahakuasaan menolak perbuatan jahat dan Beliau memberi anugerah jalan kehidupan manusia agar mencapai keserasian, keseimbangan dan keharmonisan dengan alam. Dikatakan sebagai pendidik, apabila manusia tidak ingat dengan keberadaan Beliau maka Beliau akan mendidik dengan cara mengganggu keserasian, keseimbangan manusia dengan alam sehingga muncul beberapa permasalahan seperti sakit, keributan rumah tangga, kemandulan dan sebagainya. Dengan demikian Beliau memiliki dua kekuasaan yaitu Kekuatan Dharma dan Kekuatan Wisesa (Sudarsana, 1998:67-68). Kampuh yang digunakan pada pelinggih ini adalah berwarna merah, hitam dan putih yang merupakan lambang Tridatu. Banten yang dipersembahkan adalah canang ketipat kelanan.

3.14   Pelinggih Pesaren/ Hyang Kompiang

Pelinggih ini memiliki dua ruangan (rong) kanan dan kiri. Di masyarakat Hindu khususnya di Bali bangunan ini diberi nama bermacam-macam sesuai dengan loka dresta, ada yang menamakan linggih Hyang Kompiang, ada yang menyebutkan linggih Bethara Hyang, dan ada juga yang memberi sebutan linggih kawitan. Pelinggih Pesaren adalah stananya para roh-roh suci (Dewa Pitara) dengan sebutan “Sang Hyang Sri Prajapati” dengan swabhawa Atma dan Antaratma yaitu roh-roh yang bersifat purusa dan predana. Bangunan suci Kamulan juga merupakan stananya Dewa Pitara. Dewa Pitara yang bersemayam kehadapan Sang Hyang Guru memiliki status Hyang Pitara karena unsur-unsur Dewa Pitara disertai oleh kekuatan manifestasi Sang Hyang Widhi yang tidak pernah dilahirkan ke dunia yaitu Hyang Guru. Melihat dari kata Hyang artinya Hampa atau Sunia, sehingga memiliki maksud bahwa Dewa Pitara tersebut mengalami perubahan sifat, dari sifat sinar (Div) menjadi sifat hampa, sesuai dengan sifat sumbernya yaitu Hyang Guru. Maka dengan demikian pendapat secara umum di masyarakat adalah “Bethara Hyang”. Sedangkan pada bangunan suci Pesaren Dewa Pitara tetap memiliki sifat Dewa yang berasal akar kata “Div” yang artinya sinar. Dengan demikian Dewa Pitara yang berstana pada bangunan Pesaren seutuhnya bersifat Dewa (sinar) tanpa disertai oleh manifestasi lin. Oleh sebab itu pada bangunan suci Pesaren merupakan linggih roh suci (purusa) pada rong kanan (tengen) yang disebut Kawitan dn pada rong kiri (kiwa) roh suci predana yang disebut kamimitan (Sudarsana, 1998:54-56). Seperti salah satu petikan yang tercancum dalam sumber ajaran Agama Hindu sebagai berikut:
Akrodhanah sauca parah
Satatam brahmacarinah
Nyasta sastra malabhagah
Pitarah purwa dewata
(Manawa Dharma Sastra III. 102)
Artinya :
Roh leluhur adalah Dewa-Dewa yang pertama bebas dari kemarahan, hati-hati terhadap kesuciannya, selalu jujur, tidak suka bertengkardan kaya akan kebajikan.
Kampuh yang digunakan pada pelinggih ini adalah berwarna putih kuning yang melambangkan kesucian. Banten yang dipersembahkan adalah canang ajuman (soda) dan daksina.
3.15     Pelinggih Meru

Meru sebenarnya adalah nama sebuah gunung di Sorgaloka. Salah satu puncaknya disebut Kailasa yang katanya merupakan tempat bersemayamnya Bhatara Siwa. Gunung itu lalu diturunkan ke dunia menjadi Gunung Himalaya di India, Gunung Mahameru di Jawa dan Gunung Agung di Bali. Dengan demikian meru merupakan stana dari Bhatara Siwa atau Ida Sang Hyang Widhi dan berbagai bentuk manifestasi-Nya. Meru itu atapnya bertingkat-tingkat dan jumlah tingkatannya kecuali yang bertingkat dua selalu ganjil seperti tiga, lima, tujuh, sembilan, sebelas dan semakin ke atas semakin kecil. Jumlah tingkat yang ganjil ini menunjukkan kelepasan, sebab jumlah yang genap dipandang sebagai rwa bhineda artinya dapat menciptakan sesuatu yang baru. Sedangkan yang ganjil tidak akan melahirkan apa-apa lagi. Namun ada juga yang berpendapat bahwa bilangan ganjil itu bernilai tinggi, sakti dan bermakna penuh. Berikut adalah contoh bilangan ganjil yaitu Sang Hyang Widhi Wasa adalah Esa (1) dengan prabawanya berupa trisakti (3). Unsur kehidupan adalah Panca Mahabutha (5) sedangkan lapisan bumi dan angkasa masing-masing 7 (sapta patala dan langit ketujuh), arah angin arahnya sembilan (9). Semuanya itu menunjukkan bilangan ganjil yang mempunyai makna khusus bagi umat Hindu yaitu sakti dan bernilai tinggi (Sukardana, 2006 : 119-120).
          Meru juga merupakan bentuk pelinggih yang berasal dari perkembangan bentuk candi. Mengenai pengertian Meru ini dijelaskan dalam lontar Andha Bhuwana sebagai berikut:
“meru ngaran pratiwimbha Andha Bhuwana, tumpangnya pawakan patalaning bhuwana agung alit” 
Artinya:
Meru adalah lambang alam semesta, tingkat atapnya sebagai lapisan bhuwana agung dan bhuwana alit (macro dan micro cosmos). 
          Dengan keterangan lontar Andha Bhuwana tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa Meru adalah lambang Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit (macro cosmos dan micro cosmos). Sedangkan tingkatan atapnya disamping lambang lapisan alam yaitu sapta loka dan sapta patala juga lambang “pengelukunan dasaksara” yaitu perlipatan sepuluh huruf suci. Aksara dalam bahasa Sansekerta artinya “Yang Maha Abadi” karena itulah huruf suci itu juga disebut “Uriping bhuwana” (Kt Wiana, 1996:7-8).   
Di dalam merajan saya hanya terdapat meru yang bertingkat atau bertumpang tiga yang merupakan simbol kemahakuasaan Sang Hyang Widhi yang disebut dengan Trisakti dan juga sebagai lambang Tri loka yang terdiri dari Tri Aksara yaitu Ang Ung Mang atau Tri Purusa (Siwa, Sadasiwa, Parasiwa). Meru Tumpang Telu yang merupakan tempat pemujaan “Ratu Pasek” beliau adalah Mpu Ghana yang merupakan saudara ketiga dari “Panca Tirta” yaitu : Mpu Gnijaya, Mpu Semeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan, dan Mpu Bharadah/Pradah.
Fungsi Meru juga sama dengan fungsi candi yaitu:
1.             Meru sebagai Dewa Pratistha yaitu tempat pemujaan Tudan dan manifestasi-Nya.
2.             Meru sebagai Atma Pratistha yaitu tempat pemujaan roh suci leluhur.
Kampuh yang digunakan pada pelinggih ini adalah putih kuning. Banten yang dipersembahkan adalah banten daksina dan canang ajengan.

3.16   Pelinggih Sapta Patala

Sapta Patala adalah Sang Hyang Widhi dalam manifestasi sebagai pertiwi yang berisi patung naga sebagai simbol naga Basuki, yang merupakan pemberi kemakmuran. Sapta Petala juga disebut dengan Bhur Loka yang terdiri dari tujuh lapisan dimensi alam. Semakin negatif atau kasar lapisan dimensi bhur loka yang kita masuki, lingkungannya semakin tidak mendukung bagi jiwa untuk mengalami kebahagiaan dan kedamaian. Jiwa-jiwa yang terperosok ke alam ini adalah apa yang biasa kita sebut sebagai para ashura atau mahluk-mahluk bawah [bhuta kala]. Berikut penjelasan mengenai Bhur Loka atau Sapta Petala :
1.             Sapta Petala lapisan atau dimensi pertama : Atala.
Sang jiwa akan lahir di alam ini karena dalam hidupnya dia baik secara fisik maupun melalui perkataan [hinaan, fitnah, penipuan, manipulasi, ajaran spiritual palsu, hasutan, dll], menyebabkan seseorang mengalami kesengsaraan berkepanjangan. Sumber kesengsaraan di alam ini adalah pikiran dan memory akan rasa marah, tersinggung, rasa sakit fisik, rasa bersalah, dll. Sumber kebahagiaan utama di alam ini adalah pikiran dan memory akan kasih sayang dan kebaikan yang pernah dilakukan.
2.             Sapta Petala lapisan kedua : Witala.
Sang jiwa akan lahir di alam ini karena dalam hidupnya dia baik secara fisik maupun melalui perkataan [hinaan, fitnah, penipuan, manipulasi, ajaran spiritual palsu, hasutan, dll], menyebabkan sekelompok orang mengalami kesengsaraan berkepanjangan. Misalnya saja [hanya contoh] melakukan penipuan besar kepada sekelompok orang, mengeksploitasi tenaga kerja, dll. Sumber kesengsaraan di alam ini adalah pikiran dan memory akan berbagai keinginan-keinginan pikiran yang tidak terpenuhi seperti karir, pendidikan, rasa sayang dari anak-anak, dll. Sumber kebahagiaan utama di alam ini adalah pikiran dan memory akan keuntungan besar dalam bisnis, kekayaan seperti rumah megah, mobil mewah, baju bagus, HP canggih, dll.
3.             Sapta Petala lapisan ketiga : Sutala.
Sang jiwa akan lahir di alam ini karena dalam hidupnya dia baik secara fisik maupun melalui perkataan [hinaan, fitnah, penipuan, manipulasi, ajaran spiritual palsu, hasutan, dll], menyebabkan banyak orang mengalami kesengsaraan berkepanjangan. Misalnya saja [hanya contoh] meracuni makanan atau obat-obatan [formalin, methanol, zat berbahaya, obat dengan dosis tidak sehat], memproduksi narkoba, melakukan korupsi dengan dampak besar, dll. Sumber kesengsaraan di alam ini adalah pikiran dan memory akan berbagai keinginan-keinginan badan dan pikiran yang tidak terpenuhi. Sumber kebahagiaan utama di alam ini adalah pikiran dan memory akan keinginan-keinginan badan dan pikiran yang terpenuhi.
4.             Sapta Petala lapisan ke-empat : Talatala.
Kita mulai memasuki lapisan alam negatif [pertama] yang merupakan habitat bagi jiwa-jiwa yang sedikit punya rasa kasih sayang dan dominan punya bathin gelap seperti : kemarahan, dendam, iri hati dan kebencian. Sang jiwa akan lahir di alam ini karena dalam hidupnya dia melakukan, menghasut, mengatur, memanipulasi atau mengorganisir kebencian pada orang lain [melalui orasi, ideologi, ajaran spiritual, dll] yang berujung pada terjadinya aksi kekerasan fisik fatal kepada sekelompok orang. Sang jiwa di alam ini mulai merasakan kesengsaraan mental yang mendalam, akibat proyeksi mental-energi yang tidak terhingga di alam ini. Sumber kebahagiaan utama di alam ini adalah pikiran dan memory akan puasnya melampiaskan amarah yang menyebabkan orang lain menderita.
5.             Sapta Petala lapisan kelima : Mahatala.
Sang jiwa akan lahir di alam ini karena dalam hidupnya dia melakukan, menghasut, mengatur, memanipulasi atau mengorganisir kebencian pada orang lain [melalui orasi, ideologi, ajaran spiritual, dll] yang berujung pada terjadinya aksi kekerasan fisik fatal kepada banyak orang. Sumber kesengsaraan di alam ini adalah akibat perbudakan mental dari jiwa-jiwa gelap penguasa alam petala serta sang jiwa merasa putus asa akibat kecilnya peluang untuk bisa bebas dari alam ini. Sumber kebahagiaan utama di alam ini adalah setitik harapan kecil bahwa suatu hari akan ada yang menolong dari kesengsaraan mendalam ini.
6.             Sapta Petala lapisan ke-enam : Rasatala.
Sang jiwa akan lahir di alam ini karena dalam hidupnya dia melakukan, menghasut, mengatur, memanipulasi atau mengorganisir kebencian pada orang lain [melalui orasi, ideologi, ajaran spiritual, dll] yang berujung pada terjadinya aksi kekerasan fisik fatal kepada banyak orang di suatu wilayah besar dari suatu negara atau bangsa. Sumber kesengsaraan di alam ini adalah siksaan mental yang sangat berat akibat dari kesengsaraan mental yang ekstrim. Tidak ada kebahagiaan di alam ini.
7.             Sapta Petala lapisan ketujuh atau paling negatif & gelap : Patala.
Sang jiwa akan lahir di alam ini karena dalam hidupnya dia melakukan, menghasut, mengatur, memanipulasi atau mengorganisir kebencian pada orang lain [melalui orasi, ideologi, ajaran spiritual, dll] yang berujung pada terjadinya aksi kekerasan fisik fatal kepada banyak orang di satu negara atau lintas negara [beberapa negara atau bangsa]. Sumber kesengsaraan di alam ini adalah siksaan mental yang sangat berat akibat dari kesengsaraan mental yang ekstrim. Tidak ada kebahagiaan di alam ini (http://rumah-dharma.blogspot.com/2011/06/tri-loka-tiga-pengelompokan-alam.html, diakses Senin, 10 Desember 2012 Pukul 10:19 Wita).
Sebagaimana disebutkan pula bahwa untuk keharmonisan alam neraka atau sapta petala ini agar seluruh mahluk yang berada di alam ini tidak mengganggu kehidupan bhuwana agung dan manusia itu sendiri sehingga diperlukan sarana kelengkapan pada saat melakukan yadnya sebagai berikut :
-                 Penggunaan daksina dengan kelapa didalamnya pada sebuah upacara yadnya sebagai simbol dari alam sapta petala ini.
-                 Pada upacara ngenteg linggih, sebagaimana disebutkan pada Puncak Karya Ngenteg Linggih dan Nubung Daging, diperlukan tetandingan banten yaitu : Pebangkit / bebangkit selem, catur miwah sorohannyane guling bawi, sate jerimpen atungguh, pangkonan 4, maulam bawi 4 karang, jauman aporodan mejaje lebeng andus / mekuskus, rayunan matah lebeng, salaran bebek selem, ayam selem (hidup), jinah kompolan, beras, ketan, injin, tegen tegenan genep, pecanangan, galahan sarwa 4, mejinah 4000 keteng, Pecanangan sok poleng genep isin pecanangan, rantasan seperadeg, guling bawi terus gunung lebeng asibak (sane asibak kantun mebulu rauh ketendas), mekamben selem, mebunga, megelang, mebungkung (antuk emas) nyelet arit sudamala, basang miwah getih bawine matah mawadah payuk anyar metutup tetingkeb asoroh mewastra selem, bagia pulakerti (http://sejarahharirayahindu.blogspot.com/2012/03/sapta-petala.html, diakses Senin, 10 Desember 2012 Pukul 10:17 Wita).
Kampuh pelinggih ini adalah putih kuning dan banten yang dipersembahkan adalah ajengan japi tunggal.
3.17   Pemedal Agung

Pamedal Agung merupakan sebuah bangunan sebagai pintu keluar masuk areal Sanggah/Pamerajan. Di Pemedal Agung ini terdapat dua buah pelinggih yang disebut dengan Pengapit Lawang sebagai pelinggih Bhatara Kala dengan Bhiseka Jaga-Jaga, yaitu putra Dewa Siwa yang bertugas sebagai pecalang. Pelinggih Pengapit Lawang yang ada di Pemedal Agung ini masih bangunannya masih belum sempurna, masing berupa bataran biasa karena belum selesai di renovasi. Banten yang dipersembahkan adalah canang raka.

IV.        Konsep Penyatuan Sivasiddhanta yang ada dalam Sanggah/Pamerajan
Di dalam Sanggah/Pamerajan saya terdapat beberapa penyatuan dari sekte-sekte yang ada dalam Sivasiddhanta. Itu dapat dilihat dari pelinggih-pelinggih yang ada di dalam Sanggah/Pamerajan. Seperti yang dapat saya jelaskan di bawah ini:
1.             Taksu Agung : Pelinggih Taksu ada kemiripan fungsi dengan Ista Dewata dari sekte Sakta di India. Sekte ini memuja aspek feminim Tuhan (sakti/kekuatan).
2.             Menjangan Saluang/Manjang Sakeluang : mempergunakan konsep Tri Tunggal yaitu Tri Murti yaitu Brahma, Wisnu, Siwa dari Mpu Kuturan, yang mana sekte Sambu dan Bayu di subkan Siwa, sekte Indra di subkan ke Wisnu dan sekte kala di subkan ke Brahma.
3.             Surya : dalam pelinggih ini adanya pengaruh dari sekte Sora yang dibuktikan dengan adanya pemujaan terhadap Dewa Surya sebagai dewa yang utama sebagai Dewa Matahari.
4.             Panunggun Karang : terdapat pengaruh dari sekte Bhairawa yang memuja Dewi Durga, karena yang berstana di dalam pelinggih ini adalah Sang Hyang Durga Manik.
5.             Meru : pelinggih yang merupakan stana dari Dewa Siwa, jadi di dalamnya terdapat pengaruh dari sekte Siwa.
6.             Pemedal Agung : di dalam bangunan ini terdapat pelinggih yang bernama Pengapit lawang, yang mana di dalamnya terdapat pengaruh dari sekte Ganapati.

DAFTAR PUSTAKA

Gunawan, I Ketut Pasek. 2012. Sivasiddhanta II. –
http://www.babadbali.com/pura/plan/merajan.htm, diakses Rabu, 28 November 2012 Pukul 14:46 Wita.
http://silsilahkeluargabm.wordpress.com/2012/08/05/menjangan-seluang, diakses Selasa, 04 Desember 2012 Pukul 09:44 Wita.
http://rumah-dharma.blogspot.com/2011/06/tri-loka-tiga-pengelompokan-alam.html, diakses Senin, 10 Desember 2012 Pukul 10:19 Wita.
http://sejarahharirayahindu.blogspot.com/2012/03/sapta-petala.html, diakses Senin, 10 Desember 2012 Pukul 10:17 Wita
Soebandi, Jro Mangku Gde Ketut. 2003. Babad Pasek Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi. Denpasar : PT Pustaka Manikgeni.
Sudarsana, IB Putu. 1998. Ajaran Agama Hindu Manifestasi Sang Hyang Widhi. - : Yayasan Dharma Acarya.
Sukardana, K.M. 2006. DasAr-Dasar Kepemangkuan. Surabaya : Paramita.
Wiana, I Ketut. 1996. Palinggih Di Pamerajan. Denpasar : Upada Sastra.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar