PAMERAJAN PASEK
PADANG SUBADRA
I.
Silsilah
Pasek Padang Subadra
Keluarga
Pasek Padang Subadra merupakan keturunan dari Mpu Ketek yang merupakan bagian
dari Sapta Rsi.
Mpu
Ketek kawin dengan seorang gadis, anak Ki Arya Padang Subadra. Dari
perkawinannya itu, beliau berputra dua orang anak laki-laki yaitu Arya
Kapasekan dan Sanghyang Pamacekan. Arya Kapasekan kemudian kawin dan memiliki
tiga anak laki-perempuan, yang sulung bernama I Gusti Agung Padang Subadra,
yang kedua Ni luh Pasek dan yang ketiga Kyayi Agung Pamacekan.
Adapun
Sanghyang Pamacekan mengawini Dewi Dwararika yakni putri dari Mpu Bahula.
Mereka mempunyai dua orang anak yaitu Dewi Girinatha dan Mpu Pamacekan.
Dikisahkan bahwa Kyayi Agung Pamacekan setelah pindah ke Bali, berputra dua
orang laki-laki bernama Pasek Denpasar dan Pasek Gelgel. Adapun Mpu Pamacekan
di Jawa kawin dengan Ni Ayu Swani, kemudian memiliki tiga orang anak yaitu Arya
Kapasekan, Arya Pamacekan (setelh menempuh upacara dwijati bergelar Mpu
Jiwanatha) dan Ni Ayu Ler.
Dikisahkan
Arya Kapasekan Kawin dengan Ni Swararika. Sesudah berada di Bali, mereka
mempunyai dua anak yaitu Ni Ni Luh Pasek dan Kyayi Agung Pamacekan. Kyayi Agung
Pamacekan berputra seorang laki-laki. Entah berdasarkan pertimbangan apa,
putranya itu diberi nama Kyayi Agung Pamacekan, sama dengan nama ayahnya.
Kemudian Kyayi Agung Pamacekan kembali ke Jawa. Pada akhir kerajaan Majapahit
di Pulau Jawa, meletuslah pergolakan dan perang antara penganut agama lama
dengan agama baru. Mereka yang tidak mau memeluk agama baru, lalu meninggalkan
Jawa Timur menuju Gunung Mahameru yang dipimpin oleh tiga orang yaitu Kyayi
Agung Pamacekan selaku rohaniwan, seorang keluarga raja dan seorang bekel.
Setelah
berada di Gunung Mahameru, mereka terus dikejar lawan, lalu melarikan diri menuju ke barat daya dan
sampailah mereka di dalam hutan di kaki Gunung Mahameru. Mereka di sana berniat
menetap, dan untuk itu membuat pasraman sebagai pemukimannya. Dengan demikian
selamatlah mereka dari kepungan lawan. Namun akhirnya, usia juga yang membatasi
hidup mereka. Sesudah mereka sempat menjalani hidup yang cukup panjang, ketiga
pimpinan tersebut meninggal dunia. Ketiga petilasannya
letaknya tidak terlalu berjauhan. Sesudah menjadi pemukiman masyarakat, tempat
itu lalu diberi nama sebagai berikut:
-
Tempat petilasan Kyayi
Agung Pamacekan dinamakan Dukuh Pasekan.
-
Tempat petilasan
keluarga raja dinamakan Dukuh Kaprabhon.
-
Tempat petilasan Bekel
dinamakan Dukuh Tegalsari.
Kyayi
Agung Pamacekan yang petilasannya ada
di Dukuh Pasekan, Kelurahan dan Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Daerah
Tingkat II Karanganyar (Jawa Tengah) tidak mempunyai keturunan. Adapun Arya
Pamacekan yang kemudian bergelar Mpu Jiwanatha kawin dengan Ni Swaradangkya dan
memiliki seorang anak laki-laki yang diberi nama Kyayi Gusti Agung Subadra.
Kyayi Gusti Agung Subadra kawin dengan Luh Pasek dan memiliki dua orang putra
yaitu Ki Pasek Tohjiwa dan Ki Pasek Padang Subadra. Oleh Raja Bali Sri
Tapaulung, yang dinobatkan pada tahun Saka 1246 (tahun 1324 M) bergelar Sri
Gajah Waktra atau Sri Gajah Wahana. Ki Pasek Padang Subadra diangkat sebagai
penguasa di Desa Perasi dengan gelar Kyayi Agung Pasek Padang Subadra.
Kemudian
Kyayi Agung Pasek Padang Subadra oleh Raja Bali Sri Gajah Waktra atau Sri Gajah
Wahana diangkat sebagai Amancabhumi (setingkat camat) dengan tugas pengempon
Pura Silayukti di Desa Padang. Sedangkan Ki Pasek Tohjiwa sebagai Amancabhumi
berkedudukan di Kejiwa, bergelar I Gusti Pangeran Pasek Tohjiwa, menguasai
suatu daerah di sebelah Barat Bukit Penyu dan di sebelah Timur Desa Bajing.
Keputusan pengangkatan ini diambil dalam rapat di Gelgel, pada hari Senin
Umanis, wara Sungsang Saka warsa 1257 (tahun 1335 M) (Soebandi, 2003:64-66).
II.
Sanggah/Pamerajan
Sanggah/Pamerajan
keluarga saya terletak di Jalan Pahlawan, Banjar Tegal. "Sanggah"
atau "Pamerajan" mempunyai asal kata masing-masing. Perkataan Sanggah
berasal dari sanggar yang berarti tempat suci, karena perubahan huruf dari r
menjadi h maka menjadi Sanggah. Secara etimologi adalah berasal dari kata sa
dan angga (sa berarti satu dan angga berarti badan). Jadi berarti satu badan
atau penunggalan suksma sarira dengan stula sarira atau penunggalan rohani dan
jasmani untuk dapat memusatkan pikiran ke hadapan Hyang Widi, melalui roh suci
leluhur. Sedangkan kata Pamerajan berasal dari kata pa yang menunjukkan tempat
dan mara berarti dekat dan ja dari kata jati, yang berarti lahir. Jadi arti
dari Pamerajan adalah tempat mendekatkan diri pada asal kelahiran.
Sanggah/Pamerajan
adalah tempat pemujaan untuk suatu keluarga. Pamerajan bukan merupakan tempat
pemujaan umum yang berlaku bagi setiap umat Hindu. Pamerajan hanya tempat
pemujaan untuk umat Hindu yang memiliki ikatan keluarga. Pamerajan adalah “ulun
karang” atau kalau diumpamakan seperti manusia, Pamerajan itu dapat diumpamakan
sebagai kepala atau ulunya pekarangan. Pamerajan memiliki tingkatan-tingkatan
menurut besar kecilnya keluarga penyungsung dan bentuk serta kelengkapan dari
pelinggih-pelinggih yang ada (Kt. Wiana, 1996:20). Menurut bentuknya Sanggah
Pamerajan, ada tiga versi :
a.
Yang dibangun mengikuti konsep Mpu
Kuturan Trimurti maka pelinggih yang letaknya di ‘hulu’ (kaja-kangin) adalah
pelinggih Kemulan (Rong Tiga, Dua, Satu), tidak mempunyai pelinggih Padmasana/
Padmasari.
b.
Yang dibangun mengikuti konsep
Danghyang Nirarta Tripurusha maka pelinggih yang letaknya di ‘hulu’
(kaja-kangin) adalah pelinggih Padmasana/ Padmasari, sedangkan pelinggih
Kemulan tidak berada di Utama Mandala.
c.
Kombinasi keduanya biasanya dibangun setelah abad ke-14, maka
pelinggih Padmasana/ Padmasari tetap di ‘hulu’, namun di sebelahnya ada
pelinggih Kemulan.
Jadi
dapat disimpulkan bahwa Sanggah/Pamerajan yang ada di rumah keluarga besar saya
mengikuti konsep dari Mpu Kuturan, karena di Sanggah/Pamerajan memiliki
pelinggih Kemulan yang hanya memiliki satu rong (ruang).
Fungsi
Sanggah/Pamerajan berdasarkan keyakinan umat Hindu di Bali adalah :
1.
Sebagai tempat suci
untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa dan para Leluhur/Kawitan.
2.
Sebagai tempat
berkumpul sanak keluarga dalam upaya mempererat tali keluarga.
3.
Sebagai tempat kegiatan
sosial/pendidikan yang berkaitan dengan agama (Gunawan, 2012:19).
III.
Pelinggih-Pelinggih
yang ada di Merajan
3.1
Taksu Agung
Kata
Taksu sudah merupakan bahasa baku dalam kosa kata Bali, yang dapat diartikan
sebagai daya magis yang menjadikan keberhasilan dalam segala aspek kerja,
misalnya para seniman seperti pragina, balian, dalang, dan lain-lain, yang
berhasil disebut “mataksu”. Dalam ajaran Tantrayana, taksu bisa diartikan sama dengan
“sakti” atau “wisesa”. Dan yang dimaksud dengan sakti itu adalah simbol dari
pada “bala” atau kekuatan (Singgin Wikarna, 1998:17-18). Taksu juga sebagai
niyasa pemujaan Dewi Saraswati yaitu saktinya Brahma yang memberikan manusia
kemampuan belajar/mengajar sehingga memiliki pengetahuan.
Pada
umumnya bentuk bangunan dari Taksu Agung terdiri dari bataran dibagian bawah,
dibagian tengah badan bangunan di atasnya sebuah ruangan disangga oleh sepasang
“Saka Anda” dan ditutupi oleh atap bangunan (Kt. Wiana, 1996:29). Namun Taksu
Agung yang ada di Merajan saya sudah menggunakan bahan bangunan yang umum
digunakan di kalangan masyarakat sekarang, tidak menggunakan kayu ataupun
tiang. Kampuh yang digunakan adalah berwarna hitam putih (saput poleng) yang
merupakan simbol dari kekuatan Dharma dan kekuatan Wisesa. Sedangkan banten
yang dipersembahkan kepada pelinggih ini adalah canang ketipat gong.
Fungsi
Taksu Agung sama dengan fungsi Taksu yang lainnya yaitu untuk memohon
“kesidhian” atau keberhasilan untuk semua jenis profesi seperti seniman,
pedagang, petani, pemimpin masyarakat dan sebagainya.
3.2
Dewa Ayu Pesaren
Pelinggih
Dewa Ayu Pesaren adalah pelinggih yang merupakan stana dari bhatari sarati,
sebagai bentuk penghormatan kepada orang yang mengetahui tentang banten-banten.
Kampuh yang digunakan adalah berwana putih kuning yang merupakan lambang dari
kesucian. Kemudian banten yang dipersembahkan adalah canang raka.
3.3
Dewa Ayu
Pelinggih
Dewa Ayu ini merupakan stana dari Hyang Bhatari yang membantu tugas dari
Pelinggih Dewa Ayu Pesaren. Kampuh yang digunakan berwarna putih kuning dan
banten yang dipersembahkan adalah canang raka.
3.4
Dalem Taulan
Pelinggih
Dalem Taulan ini merupakan stana dari Bhatara Dalem. Di pelinggih inilah tempat
untuk memohon penganugerahan agar salah satu dari keluarga yang meninggal agar
diberi tempat yang layak di alam sana. Kampuh yang digunakan adalah berwarna
putih kuning dan banten yang dipersembahkan adalah canang ajengan.
3.5
Dewa Ayu Manik Galih
Pelinggih
Dewa Ayu Manik Galih ini merupakan stana dari Dewi Sri, sebagai simbol Dewi
kesuburan dan kesejahteraan. Beliau akan memberikan jalan untuk dapat mencapai
kesejahteraan hidup. Kampuh yang digunakan adalah berwarna putih kuning,
sedangkan banten yang dipersembahkan yaitu canang ajengan japi tunggal.
3.6
Kamulan Rong Satu
Kamulan
berasal dari kata “mula” (samkrit) yang berarti akar, umbi, dasar, permulaan,
asal (Kamus kecil Samkrit-Indonesia, 1983:180). Awal ka dan akhiran an
menunjukkan tempat pemujaan asal atau sumber (Singgin,1998:2-3). Kemulan rong
tiga sebagai stana Sanghyang Trimurti, Sanghyang Widhi dalam manifestasi
sebagai Brahma – Wisnu – Siwa atau disingkat Bhatara Hyang Guru. Ada juga
kemulan rong 1 (Sanghyang Tunggal), rong 2 (Ardanareswari), rong 4 (Catur
Dewata), rong 5 (Panca Dewata) (http://www.babadbali.com/pura/plan/merajan.htm,
diakses Rabu, 28 November 2012 Pukul 14:46 Wita).
Kampuh
yang digunakan adalah berwarna putih kuning yang merupakan lambang kesucian.
Banten yang dipersembahkan kepada pelinggih ini adalah canang ajengan dan
daksina.
3.7 Pelinggih Limas Catu dan Limas Mujung
Bentuk
Pelinggih Limas Catu dan Limas Mujung itu seperti Meru Tumpang Satu, hanya
atapnya berbeda-beda. Pelinggih Limas Catu bentuk atapnya ditutup dengan
''paso'' yang dihias indah berukir sampai ke ujungnya sehingga tidak sama
dengan paso yang digunakan untuk keperluan dalam rumah tangga. Sedangkan Limas
Mujung atapnya dari serat ijuk dibuat lancip mengerucut ke atas seperti
berkuncir. Padagingan Limas Catu dan Limas Mujung menggunakan padagingan Dewa
Pratista. Pelinggih Limas Catu dan Limas Mujung sebagai media pemujaan Tuhan
dalam fungsinya sebagai pencipta kesejahteraan material dan spiritual. Dua
pelinggih tersebut disebut dengan berbagai istilah oleh umat Hindu di Bali. Limas
Catu ada yang menyebutnya sebagai Pasimpangan Ida Batara di Gunung Lebah.
Sedangkan Limas Mujung Pasimpangan Ida Batara di Gunung Agung.
Pemujaan
dengan sarana Pelinggih Limas Catu dan Limas Mujung itu adalah untuk memuja
Tuhan sebagai pencipta jiwa dan raga atau Purusa dan Pradana. Manusia tercipta
oleh Tuhan dari Purusa dan Pradana. Bertemunya Purusa dan Pradana itulah yang
menyebabkan adanya hidup ini. Menurut ajaran Hindu memuja Tuhan itu bukan
sekadar memuja. Memuja Tuhan Yang Mahakuasa itu untuk dapat didayagunakan
menguatkan kehidupan lahir batin.
Demikian
juga pemujaan Tuhan dalam fungsi-Nya sebagai pencipta Purusa dan Pradana dipuja
untuk mengingatkan umat manusia agar selalu membangun hidup yang seimbang.
Dengan sistem pemujaan yang demikian itu berarti ajaran Hindu tidak semata-mata
mengajarkan tentang kerohanian saja, tetapi mengajarkan kehidupan yang seimbang
antara kehidupan duniawi dan rohani. Penderitaan itu terjadi kalau kehidupan
jasmani dan rohani tidak seimbang. Kampuh yang digunakan pada pelinggih Limas
Catu dan Limas Mujung ini adalah putih kuning yang merupakan lambang kesucian. Banten
yang dipersembahkan kepada pelinggih ini adalah canang raka.
3.8
Menjangan Saluang/Manjang Sakeluang
Pelinggih
Menjangan Saluang/Manjang Sakeluang yang ada di Merajan saya tidak berbentuk
gedong namun bentuknya agak panjang. Pelinggih ini memiliki tiang (saka) lima
buah saka, yang di belakang 2 buah dan tiga buah di depannya. Di depan bangunan
tepat pada tiang di tengah diisi sebuah simbol berupa kepala binatang
menjangan. Simbol-simbol yang terdapat dalam pelinggih Menjangan Saluang ini
memiliki makna tersendiri yaitu:
a.
Bangunan bertiang lima
buah mengandung simbol Panca Rsi.
b.
Kepala menjangan
mengandung mksud Sang Putus atau Maha Rsi.
c.
Binatang menjangan
bertanduk bercabang-cabang mengandung maksud kekuasaan kerajaan Majapahit.
Bangunan Pelinggih Menjangan Saluang
juga merupakan pelinggih untuk menghormati jasa-jasa Mpu Kuturan di Bali. Empu
Kuturan ialah seorang Maha Rsi dari Jawa timur yang datang ke Bali pada waktu
pemerintahan Raja Marakata yaitu adik dari Airlangga. Empu Kuturan di kenal
sebagai salah satu tokoh spiritual yang memperkokoh sendi-sendi kehidupan
beragama di Bali. Antara lain:
-
Adanya Khayangan Tiga di Desa-Desa Pakraman
-
Adanya Khayangan Jagat
-
Adanya Sad Kahyangan Di Bali
-
Tata Cara Penyelenggaraan Desa Pakraman.
-
Tata Cara Pelaksanaan Upacara dan Upakaranya.
-
Mengenal Arsitektur tradisional Bali.
-
Palinggih-Palinggih Meru, Tugu dan Gedong.
Dan Mpu Kuturan juga di kenal
sebagai pemersatu beberapa paham atau sekte hindu yang ada di Bali. Beliau juga
mengajarkan berbagai jenis pedagingan secara spiritual. Dan menganjurkan membuat
Sanggah atau Merajan di tiap-tiap pekarangan rumah dan lain-lainnya. Sebenarnya,
sebelum paham atau sekte Hindu yang ada di Bali itu dapat disatukan oleh Mpu
Kuturan, sering kali terjadi pertentangan paham yang menimbulkan keributan. Maka
Raja Gunapriya Dharmapatni ( Udayana Warmadewa ) yang bertahta di Bali pada
waktu itu pada tahun saka 910 sampai 933 yang merupakan Raja keturunan
Majapahit memandang perlu mendatangkan ahli Rohaniawan dari Majapahit, dan
beliau mengirim utusan ke Majapahit, dari Majapahit mendapat tanggapan baik, maka
dikirimlah Maha Rsi ke Bali yaitu : Empu Semeru, Empu Garia, Empu Kuturan, Empu
Gnijaya, Empu Baradah. Setelah Beliau bersama-sama di Bali Raja Gunapriya
Dharmapatni mengangkat Empu Kuturan sebagai Ketua Majelis dalam tugas penanganan
tentang sekte-sekte tersebut. Kemudian Empu Kuturan mengadakan pertemuan dengan
nama “ Samuan Tiga “ hasil keputusan Samuan tersebut mendapat
kesepakatan bahwa keagamaan didasarkan kepada Siwa dan Bhuda dan semua sekte
telah masuk kedalamnya. Di samping itu Mpu Kuturan mempergunakan konsep Tri
Tunggal yaitu Tri Murti yaitu Brahma, Wisnu, Siwa. Mengenai pemasukan sekte
tersebut ke dalam konsep Tri Murti adalah sebagai berikut:
1.
Sekte Sambu dan Bayu di
subkan ke Siwa
2.
Sekte Indra di subkan
ke Wisnu
3.
Sekte Kala Di subkan ke
Brahma
Jadi kesimpulanya yang berstana
(Malinggih) di Palinggih Menjangan Seluang adalah Sang Hyang Panca Rsi Terutama
Empu Kuturan. (http://silsilahkeluargabm.wordpress.com/2012/08/05/menjangan-seluang,
diakses Selasa, 04 Desember 2012 Pukul 09:44 Wita).
Kampuh
yang digunakan pada pelinggih ini adalah putih kuning yang merupakan lambang
kesucian. Banten yang dipersembahkan kepada pelinggih ini adalah canang ajengan
japi tunggal.
3.9 Pelinggih Dewa Ayu Subandar, Dalem Medura
dan Taksu-Taksu Alit
Pelinggih
Dewa Ayu Subandar, Dalem Medura dan Taksu-Taksu Alit ini dibangun untuk memuja
dan menghormati leluhur yang terdahulu yang berasal dari Jawa, karena itri
kakek saya berasal dari Jawa. Kampuh yang digunakan pada pelinggih ini adalah
berwarna putih kuning yang merupakan lambang kesucian. Kemudian banten yang dipersembahkan
adalah canang ajengan di pelinggih Dewa Ayu Subandar dan Dalem Medura,
sedangkan di pelinggih Taksu Alit dipersembahkan canang ketipat sirikan.
3.10 Pelinggih Wewidian/Wewidenan
Pelinggih
Wewidian/Wewidenan yaitu pelinggih yang berhubungan dengan sejarah hidup
leluhur di masa lampau, misalnya mendapat paica, atau kejumput oleh Ida Bhatara
di Pura lain. Kampuh yang digunakan pada pelinggih ini adalah berwarna putih
kuning yang merupaakan lambang kesucian. Pada saat piodalan atau melaksanakan
upacara yadnya, banten yang dipersembahkan adalah canang raka.
3.11 Pelinggih Surya
Pelinggih Surya bisa juga disebut
dengan Sanggah Natah atau Sanggah Pangijeng. Fungsinya adalah untuk menyinari
semua yang ada di pekarangan itu atau menjaga semua yang ada di pekarangan itu.
Dan merupakan saksi Agung dari segala apa yang kita perbuat. Yang Malinggih di
sana adalah Dewa Surya yang konon dalam mitologi Dewa Surya adalah murid dari
Dewa Ciwa yang paling pintar, yang bisa menyamai kepintaran Dewa Ciwa. Sehingga
Dewa Surya di beri Gelar Surya Raditya dan dipakai sebagai contoh untuk
mengetahui kepintaran atau kesaktian Bhatara Ciwa. Dan sebagai ucapan
terimakasih dari Bhatara Surya maka Dewa Ciwa diberi Gelar Kehormatan dengan
nama Bhatara Guru, karena beliau guru dari para Dewa. Sehingga kalau kita lihat
pengastawa di sanggah natah antara lain:
“Ong Ang Ung Mang, Ong Ciwa
Rekaprastika ya namah Swaha”
Bisa juga yang malinggih di Sanggah
Natah adalah Sanghyang Siwa Reka yang tiada lain ialah Dewa Ciwa itu sendiri,
yang Ngereka ( bahasa Bali) atau yang menciptakan Alam Semesta beserta isinya (http://blogputrasekarbali.blogspot.com/2010/10/palinggih-paumahan.html#ixzz2E30PXYfP,
diakses Selasa 04 Desember 2012 Pukul 09:51 Wita). Kampuh yang digunakan pada
pelinggih ini adalah berwarna putih kuning yang merupakan lambang kesucian dan
banten yang dipersembahkan adalah banten daksina dan canang ajengan japi
tunggal.
3.12 Bale Piasan
Bangunan
Piasan berbentuk segi empat panjang memakai tiang bangunan empat buah, namun
ada juga yang memakai enam buah tiang sesuai dengan besar kecilnya bangunan.
Piasan berasal dari kata “Perhiasan” artinya tempat menghias atau merangkai
simbol, seperti daksina pelinggih, arca, sebelum distanakan pada bangunan suci
dan tempat upakara yang akan dipersembahkan. Manifestasi Sang Hyang Widhi yang
berstana pada bangunan ini adalah Sang Hyang Wenang. Dari kata Wenang yang
artinya segala manifestasi Sang Hyang Widhi bisa distanakan pada bangunn piasan
(Sudarsana, 1998:66). Kampuh yang digunakan pada bale piasan adalah berwarna
putih kuning yang melambangkan kesucian. Biasanya di bale piasan ini
dipersembahkan canang ajengan dan banten daksina.
3.13
Penunggun Karang
Bangunan
suci ini berbentuk tepas sari (seperti gedong) yang letaknya pada sudut barat
laut dari pekarangan rumah. Kenapa harus di sudut barat laut?. Karena menurut
sumber ajaran Agama Hindu yang disebut Asta Bumi terkandung di dalamnya lima
pembagian wilayah yang disebut Panca Raksa yaitu:
1.
Sri Raksa, pada sudut
timur laut adalah tempat atau lokasi Pamerajan.
2.
Guru Raksa, pada sudut
tenggara adalah tempat bangunan suci Lebuh.
3.
Durga Raksa, pada sudut
barat daya adalah lokasi kandang hewan peliharaan, dapur.
4.
Kala Raksa, pada sudut
barat laut adalah lokasi bangunan suci Penunggun Karang dan sumur/sumber mata
air, kamar mandi untuk keperluan rumah tangga.
5.
Siwa Raksa, di tengah
pekarangan adalah lokasi bangunan suci Siwa Reka.
Manifesatsi
Sang Hyang Widhi yang berstana di Penunggun Karang ini adalah “Sang Hyang Durga
Manik” sebagai kekuatan pelindung, pengayom dan pendidik umat manusia.
Dikatakan sebagai pengayom dan pelindung karena Beliau memiliki kemahakuasaan
menolak perbuatan jahat dan Beliau memberi anugerah jalan kehidupan manusia
agar mencapai keserasian, keseimbangan dan keharmonisan dengan alam. Dikatakan
sebagai pendidik, apabila manusia tidak ingat dengan keberadaan Beliau maka
Beliau akan mendidik dengan cara mengganggu keserasian, keseimbangan manusia
dengan alam sehingga muncul beberapa permasalahan seperti sakit, keributan
rumah tangga, kemandulan dan sebagainya. Dengan demikian Beliau memiliki dua
kekuasaan yaitu Kekuatan Dharma dan Kekuatan Wisesa (Sudarsana, 1998:67-68).
Kampuh yang digunakan pada pelinggih ini adalah berwarna merah, hitam dan putih
yang merupakan lambang Tridatu. Banten yang dipersembahkan adalah canang
ketipat kelanan.
3.14 Pelinggih Pesaren/ Hyang Kompiang
Pelinggih
ini memiliki dua ruangan (rong) kanan dan kiri. Di masyarakat Hindu khususnya
di Bali bangunan ini diberi nama bermacam-macam sesuai dengan loka dresta, ada
yang menamakan linggih Hyang Kompiang, ada yang menyebutkan linggih Bethara
Hyang, dan ada juga yang memberi sebutan linggih kawitan. Pelinggih Pesaren
adalah stananya para roh-roh suci (Dewa Pitara) dengan sebutan “Sang Hyang Sri
Prajapati” dengan swabhawa Atma dan Antaratma yaitu roh-roh yang bersifat
purusa dan predana. Bangunan suci Kamulan juga merupakan stananya Dewa Pitara.
Dewa Pitara yang bersemayam kehadapan Sang Hyang Guru memiliki status Hyang
Pitara karena unsur-unsur Dewa Pitara disertai oleh kekuatan manifestasi Sang
Hyang Widhi yang tidak pernah dilahirkan ke dunia yaitu Hyang Guru. Melihat
dari kata Hyang artinya Hampa atau Sunia, sehingga memiliki maksud bahwa Dewa
Pitara tersebut mengalami perubahan sifat, dari sifat sinar (Div) menjadi sifat
hampa, sesuai dengan sifat sumbernya yaitu Hyang Guru. Maka dengan demikian
pendapat secara umum di masyarakat adalah “Bethara Hyang”. Sedangkan pada
bangunan suci Pesaren Dewa Pitara tetap memiliki sifat Dewa yang berasal akar
kata “Div” yang artinya sinar. Dengan demikian Dewa Pitara yang berstana pada
bangunan Pesaren seutuhnya bersifat Dewa (sinar) tanpa disertai oleh
manifestasi lin. Oleh sebab itu pada bangunan suci Pesaren merupakan linggih
roh suci (purusa) pada rong kanan (tengen) yang disebut Kawitan dn pada rong
kiri (kiwa) roh suci predana yang disebut kamimitan (Sudarsana, 1998:54-56). Seperti
salah satu petikan yang tercancum dalam sumber ajaran Agama Hindu sebagai
berikut:
Akrodhanah
sauca parah
Satatam
brahmacarinah
Nyasta
sastra malabhagah
Pitarah
purwa dewata
(Manawa
Dharma Sastra III. 102)
Artinya
:
Roh
leluhur adalah Dewa-Dewa yang pertama bebas dari kemarahan, hati-hati terhadap
kesuciannya, selalu jujur, tidak suka bertengkardan kaya akan kebajikan.
Kampuh yang digunakan
pada pelinggih ini adalah berwarna putih kuning yang melambangkan kesucian.
Banten yang dipersembahkan adalah canang ajuman (soda) dan daksina.
3.15
Pelinggih Meru
Meru
sebenarnya adalah nama sebuah gunung di Sorgaloka. Salah satu puncaknya disebut
Kailasa yang katanya merupakan tempat bersemayamnya Bhatara Siwa. Gunung itu
lalu diturunkan ke dunia menjadi Gunung Himalaya di India, Gunung Mahameru di
Jawa dan Gunung Agung di Bali. Dengan demikian meru merupakan stana dari
Bhatara Siwa atau Ida Sang Hyang Widhi dan berbagai bentuk manifestasi-Nya.
Meru itu atapnya bertingkat-tingkat dan jumlah tingkatannya kecuali yang
bertingkat dua selalu ganjil seperti tiga, lima, tujuh, sembilan, sebelas dan
semakin ke atas semakin kecil. Jumlah tingkat yang ganjil ini menunjukkan
kelepasan, sebab jumlah yang genap dipandang sebagai rwa bhineda artinya dapat
menciptakan sesuatu yang baru. Sedangkan yang ganjil tidak akan melahirkan apa-apa
lagi. Namun ada juga yang berpendapat bahwa bilangan ganjil itu bernilai
tinggi, sakti dan bermakna penuh. Berikut adalah contoh bilangan ganjil yaitu
Sang Hyang Widhi Wasa adalah Esa (1) dengan prabawanya berupa trisakti (3).
Unsur kehidupan adalah Panca Mahabutha (5) sedangkan lapisan bumi dan angkasa
masing-masing 7 (sapta patala dan langit ketujuh), arah angin arahnya sembilan
(9). Semuanya itu menunjukkan bilangan ganjil yang mempunyai makna khusus bagi
umat Hindu yaitu sakti dan bernilai tinggi (Sukardana, 2006 : 119-120).
Meru juga merupakan bentuk pelinggih
yang berasal dari perkembangan bentuk candi. Mengenai pengertian Meru ini
dijelaskan dalam lontar Andha Bhuwana sebagai berikut:
“meru
ngaran pratiwimbha Andha Bhuwana, tumpangnya pawakan patalaning bhuwana agung
alit”
Artinya:
Meru adalah lambang alam semesta,
tingkat atapnya sebagai lapisan bhuwana agung dan bhuwana alit (macro dan micro
cosmos).
Dengan keterangan lontar Andha Bhuwana
tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa Meru adalah lambang Bhuwana Agung dan
Bhuwana Alit (macro cosmos dan micro cosmos). Sedangkan tingkatan atapnya
disamping lambang lapisan alam yaitu sapta loka dan sapta patala juga lambang
“pengelukunan dasaksara” yaitu perlipatan sepuluh huruf suci. Aksara dalam
bahasa Sansekerta artinya “Yang Maha Abadi” karena itulah huruf suci itu juga
disebut “Uriping bhuwana” (Kt Wiana, 1996:7-8).
Di
dalam merajan saya hanya terdapat meru yang bertingkat atau bertumpang tiga
yang merupakan simbol kemahakuasaan Sang Hyang Widhi yang disebut dengan
Trisakti dan juga sebagai lambang Tri loka yang terdiri dari Tri Aksara yaitu
Ang Ung Mang atau Tri
Purusa (Siwa, Sadasiwa, Parasiwa). Meru Tumpang Telu yang merupakan tempat
pemujaan “Ratu Pasek” beliau adalah Mpu
Ghana yang merupakan saudara ketiga dari “Panca Tirta” yaitu : Mpu
Gnijaya, Mpu Semeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan, dan Mpu Bharadah/Pradah.
Fungsi
Meru juga sama dengan fungsi candi yaitu:
1.
Meru sebagai Dewa
Pratistha yaitu tempat pemujaan Tudan dan manifestasi-Nya.
2.
Meru sebagai Atma
Pratistha yaitu tempat pemujaan roh suci leluhur.
Kampuh yang digunakan pada pelinggih ini
adalah putih kuning. Banten yang dipersembahkan adalah banten daksina dan
canang ajengan.
3.16 Pelinggih Sapta Patala
Sapta
Patala adalah Sang Hyang Widhi dalam manifestasi sebagai pertiwi yang berisi patung naga
sebagai simbol naga Basuki, yang merupakan pemberi kemakmuran. Sapta Petala juga disebut dengan Bhur Loka yang
terdiri dari tujuh
lapisan dimensi alam. Semakin negatif atau kasar lapisan dimensi bhur loka yang
kita masuki, lingkungannya semakin tidak mendukung bagi jiwa untuk mengalami
kebahagiaan dan kedamaian. Jiwa-jiwa yang terperosok ke alam ini adalah apa
yang biasa kita sebut sebagai para ashura atau mahluk-mahluk bawah [bhuta
kala]. Berikut penjelasan mengenai Bhur Loka atau Sapta Petala :
1.
Sapta Petala lapisan atau dimensi pertama :
Atala.
Sang jiwa akan lahir
di alam ini karena dalam hidupnya dia baik secara fisik maupun melalui
perkataan [hinaan, fitnah, penipuan, manipulasi, ajaran spiritual palsu,
hasutan, dll], menyebabkan seseorang mengalami kesengsaraan berkepanjangan.
Sumber kesengsaraan di alam ini adalah pikiran dan memory akan rasa marah,
tersinggung, rasa sakit fisik, rasa bersalah, dll. Sumber kebahagiaan utama di
alam ini adalah pikiran dan memory akan kasih sayang dan kebaikan yang pernah
dilakukan.
2.
Sapta Petala lapisan kedua : Witala.
Sang jiwa akan lahir
di alam ini karena dalam hidupnya dia baik secara fisik maupun melalui
perkataan [hinaan, fitnah, penipuan, manipulasi, ajaran spiritual palsu,
hasutan, dll], menyebabkan sekelompok orang mengalami kesengsaraan
berkepanjangan. Misalnya saja [hanya contoh] melakukan penipuan besar kepada
sekelompok orang, mengeksploitasi tenaga kerja, dll. Sumber kesengsaraan di
alam ini adalah pikiran dan memory akan berbagai keinginan-keinginan pikiran
yang tidak terpenuhi seperti karir, pendidikan, rasa sayang dari anak-anak,
dll. Sumber kebahagiaan utama di alam ini adalah pikiran dan memory akan keuntungan
besar dalam bisnis, kekayaan seperti rumah megah, mobil mewah, baju bagus, HP
canggih, dll.
3.
Sapta Petala lapisan ketiga : Sutala.
Sang jiwa akan lahir
di alam ini karena dalam hidupnya dia baik secara fisik maupun melalui
perkataan [hinaan, fitnah, penipuan, manipulasi, ajaran spiritual palsu,
hasutan, dll], menyebabkan banyak orang mengalami kesengsaraan berkepanjangan.
Misalnya saja [hanya contoh] meracuni makanan atau obat-obatan [formalin,
methanol, zat berbahaya, obat dengan dosis tidak sehat], memproduksi narkoba,
melakukan korupsi dengan dampak besar, dll. Sumber kesengsaraan di alam ini
adalah pikiran dan memory akan berbagai keinginan-keinginan badan dan pikiran
yang tidak terpenuhi. Sumber kebahagiaan utama di alam ini adalah pikiran dan memory
akan keinginan-keinginan badan dan pikiran yang terpenuhi.
4.
Sapta Petala lapisan ke-empat : Talatala.
Kita mulai memasuki
lapisan alam negatif [pertama] yang merupakan habitat bagi jiwa-jiwa yang
sedikit punya rasa kasih sayang dan dominan punya bathin gelap seperti :
kemarahan, dendam, iri hati dan kebencian. Sang jiwa akan lahir di alam ini
karena dalam hidupnya dia melakukan, menghasut, mengatur, memanipulasi atau
mengorganisir kebencian pada orang lain [melalui orasi, ideologi, ajaran
spiritual, dll] yang berujung pada terjadinya aksi kekerasan fisik fatal kepada
sekelompok orang. Sang jiwa di alam ini mulai merasakan kesengsaraan mental
yang mendalam, akibat proyeksi mental-energi yang tidak terhingga di alam ini.
Sumber kebahagiaan utama di alam ini adalah pikiran dan memory akan puasnya
melampiaskan amarah yang menyebabkan orang lain menderita.
5.
Sapta Petala lapisan kelima : Mahatala.
Sang jiwa akan lahir
di alam ini karena dalam hidupnya dia melakukan, menghasut, mengatur,
memanipulasi atau mengorganisir kebencian pada orang lain [melalui orasi,
ideologi, ajaran spiritual, dll] yang berujung pada terjadinya aksi kekerasan
fisik fatal kepada banyak orang. Sumber kesengsaraan di alam ini adalah akibat
perbudakan mental dari jiwa-jiwa gelap penguasa alam petala serta sang jiwa
merasa putus asa akibat kecilnya peluang untuk bisa bebas dari alam ini. Sumber
kebahagiaan utama di alam ini adalah setitik harapan kecil bahwa suatu hari
akan ada yang menolong dari kesengsaraan mendalam ini.
6.
Sapta Petala lapisan ke-enam : Rasatala.
Sang jiwa akan lahir
di alam ini karena dalam hidupnya dia melakukan, menghasut, mengatur,
memanipulasi atau mengorganisir kebencian pada orang lain [melalui orasi,
ideologi, ajaran spiritual, dll] yang berujung pada terjadinya aksi kekerasan
fisik fatal kepada banyak orang di suatu wilayah besar dari suatu negara atau
bangsa. Sumber kesengsaraan di alam ini adalah siksaan mental yang sangat berat
akibat dari kesengsaraan mental yang ekstrim. Tidak ada kebahagiaan di alam
ini.
7.
Sapta Petala lapisan ketujuh atau paling
negatif & gelap : Patala.
Sang jiwa akan lahir
di alam ini karena dalam hidupnya dia melakukan, menghasut, mengatur,
memanipulasi atau mengorganisir kebencian pada orang lain [melalui orasi,
ideologi, ajaran spiritual, dll] yang berujung pada terjadinya aksi kekerasan
fisik fatal kepada banyak orang di satu negara atau lintas negara [beberapa
negara atau bangsa]. Sumber kesengsaraan di alam ini adalah siksaan mental yang
sangat berat akibat dari kesengsaraan mental yang ekstrim. Tidak ada
kebahagiaan di alam ini (http://rumah-dharma.blogspot.com/2011/06/tri-loka-tiga-pengelompokan-alam.html, diakses Senin, 10
Desember 2012 Pukul 10:19 Wita).
Sebagaimana disebutkan pula bahwa
untuk keharmonisan alam neraka atau sapta petala ini agar seluruh mahluk yang
berada di alam ini tidak mengganggu kehidupan bhuwana agung
dan manusia itu sendiri sehingga diperlukan
sarana kelengkapan pada saat melakukan yadnya
sebagai berikut :
-
Penggunaan daksina
dengan kelapa didalamnya pada sebuah upacara yadnya sebagai simbol dari alam
sapta petala ini.
-
Pada upacara ngenteg
linggih, sebagaimana disebutkan pada Puncak Karya Ngenteg Linggih dan Nubung Daging,
diperlukan tetandingan banten yaitu : Pebangkit / bebangkit
selem, catur miwah sorohannyane guling bawi, sate jerimpen atungguh, pangkonan
4, maulam bawi 4 karang, jauman aporodan mejaje lebeng andus / mekuskus,
rayunan matah lebeng, salaran bebek selem, ayam selem (hidup), jinah
kompolan, beras, ketan, injin, tegen tegenan genep, pecanangan, galahan sarwa
4, mejinah 4000 keteng, Pecanangan sok poleng genep isin pecanangan, rantasan
seperadeg, guling bawi terus gunung lebeng asibak (sane asibak kantun mebulu
rauh ketendas), mekamben selem, mebunga, megelang, mebungkung (antuk
emas) nyelet arit sudamala, basang miwah getih bawine matah mawadah payuk
anyar metutup tetingkeb asoroh mewastra selem, bagia
pulakerti (http://sejarahharirayahindu.blogspot.com/2012/03/sapta-petala.html, diakses Senin, 10 Desember 2012 Pukul 10:17 Wita).
Kampuh
pelinggih ini adalah putih kuning dan banten yang dipersembahkan adalah ajengan
japi tunggal.
3.17
Pemedal Agung
Pamedal
Agung merupakan sebuah bangunan sebagai pintu keluar masuk areal
Sanggah/Pamerajan. Di Pemedal Agung ini terdapat dua buah pelinggih yang
disebut dengan Pengapit Lawang sebagai pelinggih Bhatara Kala dengan Bhiseka
Jaga-Jaga, yaitu putra Dewa Siwa yang bertugas sebagai pecalang. Pelinggih
Pengapit Lawang yang ada di Pemedal Agung ini masih bangunannya masih belum
sempurna, masing berupa bataran biasa karena belum selesai di renovasi. Banten
yang dipersembahkan adalah canang raka.
IV.
Konsep
Penyatuan Sivasiddhanta yang ada dalam Sanggah/Pamerajan
Di
dalam Sanggah/Pamerajan saya terdapat beberapa penyatuan dari sekte-sekte yang
ada dalam Sivasiddhanta. Itu dapat dilihat dari pelinggih-pelinggih yang ada di
dalam Sanggah/Pamerajan. Seperti yang dapat saya jelaskan di bawah ini:
1.
Taksu Agung : Pelinggih
Taksu ada kemiripan fungsi dengan Ista Dewata dari sekte Sakta di India. Sekte
ini memuja aspek feminim Tuhan (sakti/kekuatan).
2.
Menjangan
Saluang/Manjang Sakeluang : mempergunakan konsep Tri Tunggal yaitu Tri Murti yaitu
Brahma, Wisnu, Siwa dari Mpu Kuturan, yang mana sekte Sambu dan Bayu di subkan
Siwa, sekte Indra di subkan ke Wisnu dan sekte kala di subkan ke Brahma.
3.
Surya : dalam pelinggih ini adanya pengaruh dari sekte Sora
yang dibuktikan dengan adanya pemujaan terhadap Dewa Surya sebagai dewa yang
utama sebagai Dewa Matahari.
4.
Panunggun Karang :
terdapat pengaruh dari sekte Bhairawa yang memuja Dewi Durga, karena yang
berstana di dalam pelinggih ini adalah Sang Hyang Durga Manik.
5.
Meru : pelinggih yang
merupakan stana dari Dewa Siwa, jadi di dalamnya terdapat pengaruh dari sekte
Siwa.
6.
Pemedal Agung : di
dalam bangunan ini terdapat pelinggih yang bernama Pengapit lawang, yang mana
di dalamnya terdapat pengaruh dari sekte Ganapati.
DAFTAR
PUSTAKA
Gunawan, I Ketut
Pasek. 2012. Sivasiddhanta II. –
http://www.babadbali.com/pura/plan/merajan.htm,
diakses Rabu, 28 November 2012 Pukul 14:46 Wita.
http://silsilahkeluargabm.wordpress.com/2012/08/05/menjangan-seluang,
diakses Selasa, 04 Desember 2012 Pukul 09:44 Wita.
http://blogputrasekarbali.blogspot.com/2010/10/palinggih-paumahan.html#ixzz2E30PXYfP,
diakses Selasa 04 Desember 2012 Pukul 09:51 Wita.
http://rumah-dharma.blogspot.com/2011/06/tri-loka-tiga-pengelompokan-alam.html, diakses Senin, 10
Desember 2012 Pukul 10:19 Wita.
http://sejarahharirayahindu.blogspot.com/2012/03/sapta-petala.html, diakses Senin, 10 Desember 2012 Pukul 10:17 Wita
Soebandi,
Jro Mangku Gde Ketut. 2003. Babad Pasek
Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi. Denpasar
: PT Pustaka Manikgeni.
Sudarsana,
IB Putu. 1998. Ajaran Agama Hindu Manifestasi Sang Hyang
Widhi. - : Yayasan Dharma Acarya.
Sukardana,
K.M. 2006. DasAr-Dasar Kepemangkuan. Surabaya
: Paramita.
Wiana,
I Ketut. 1996. Palinggih Di Pamerajan. Denpasar
: Upada Sastra.